السلام عليکم

Isnin, 23 Mei 2011

Imam Al Ghazali

Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.


Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau

Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).

Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.

Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).

Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu

Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”

Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”

Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).

Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.

Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).

Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).

Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).

Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.

Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya

Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).

Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).

Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.

Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).

Polemik Kejiwaan Imam Ghazali

Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.

Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.

Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.

Masa Akhir Kehidupannya

Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”

Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).


Sumber: Majalah As Sunnah
Penyusun: Ust. Kholid Syamhudi, Lc.
Dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id

Isnin, 9 Mei 2011

MENYEMBAH KAABAH

MEMANDANGKAN ISLAM MENGHARAMKAN PENYEMBAHAN BERHALA, MENGAPA ORANG ISLAM MENYEMBAH DAN TUNDUK KAABAH SEMASA SOLAT?


JAWAPAN:
Kaabah adalah kiblat iaitu arah yang dihadap apabila orang Islam menunaikan solat. Penting untuk dinyatakan, sungguhpun orang Islam menghadap Kaabah semasa solat, mereka tidak menyembah Kaabah. Orang Islam menyembah dan tunduk hanya kepada Allah (S.W.T.).

Surah Baqarah menyebut:
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan mukamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.”
[Al-Baqarah 2:144]

1.Islam menganjurkan perpaduan.

Contohnya jika orang Islam ingin menunaikan solat, berkemungkinan ada orang yang ingin menghadap utara, ada yang ingin menghadap selatan. Untuk menyatukan umat Islam dalam penyembahan kepada Tuhan Yang Satu, di mana sahaja mereka berada, umat Islam disyaratkan menghadap hanya satu arah, iaitu Kaabah. Jika ada umt Islam yang tinggal di sebelah barat Kaabah, mereka menghadap ke timur. Begitu juga, jika mereka tinggal di sebelah timur Kaabah, mereka menghadap ke barat.

2. Kaabah terletak di Tengah Peta Dunia.

Orang Islam merupakan orang pertama melukis peta dunia. Mereka melukis peta dengan bahagian selatan menghala ke atas dan utara menghala ke bawah. Kaabah terletak di tengah-tengah. Kemudian, ahli kartografi barat pula melukisnya terbalik, utara menghala ke atas dan selatan pula menghala ke bawah. Walaubagaimanapun, Alhamdulillah, Kaabah terletak di tengah-tengah peta dunia.

3. Tawaf mengelilingi Kaabah menandakan satu Tuhan.

Apabila orang Muslim pergi ke Masjidil Haram di Mekah, mereka mengerjakan tawaf ataupun membuat pusingan mengelilingi Kaabah. Perbuatan ini melambangkan kepercayaan dan penyembahan Tuhan Yang Satu, iaitu, sebagaimana setiap bulatan mempunyai satu pusat, maka, hanya Allah (S.W.T.) sahaja yang layak disembah.

4. Hadis Umar (r.a.)

Berkenaan batu hitam, Hajarul-Aswad, terdapat hadis yang dikaitkan dengan sahabat terbilang Nabi Muhammad (S.A.W.), Umar (R.A.).

Menurut Sahih Bukhari, Jilid 2, Kitab Haji, bab 56, H.No. 675, Umar (r.a) berkata,”Aku tahu engkau adalah batu dan tidak mendatangkan sebarang manfaat ataupun kemudaratan. Jika tidak kerana aku melihat Nabi (S.A.W.) menyentuh (dan mencium) kamu, nescaya aku tidak akan menyentuh (dan mencium) kamu.”

5. Ada orang berdiri di atas Kaabah dan melaungkan azan.

Semasa zaman nabi, ada orang yang berdiri di atas Kaabah dan melaungkan azan, ataupun panggilan untuk solat. Mungkin kita boleh bertanya orang yang mendakwa bahawa umat Islam menyembah Kaabah: siapakah penyembah berhala yang berdiri di atas berhala yang disembahnya?

Petikan daripada buku: 20 Persoalan Paling Lazim Tentang Islam (Tulisan Dr. Zakir Naik)(Terbitan Saba Islamic Media 2006)
http://layarminda.blogspot.com/2009/10/adakah-orang-islam-menyembah-kaabah.html

Sabtu, 7 Mei 2011

AMALAN2 TERBALIK DALAM MASYARAKAT HARI INI

Jika direnung-renungkan, kita akan dapati banyak amalan kita adalah bertentangan dari apa yang dituntut oleh Islam. Secara tidak sedar, kita telah dilalaikan atau terikut-ikut dengan budaya hidup orang lain. Antara contoh amalan yang terbalik dalam masyarakat:
.
1. Amalan kenduri arwah beberapa malam yang dilakukan oleh keluarga simati selepas sesuatu kematian (malam pertama, kedua, ketiga, ketujuhdan seterusnya) adalah terbalik dari apa yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW di mana Rasulullah SAW menganjurkan jiran tetangga memasak makanan untuk keluarga simati untuk meringankan kesusahan dan kesedihan mereka. Keluarga tersebut telah ditimpa kesedihan, terpaksa pula menyediakan makanan dan belanja untuk mereka yang datang membaca tahlil. Tidakkah kita khuatir kalau-kalau termakan harta anak yatim yang ditinggalkan oleh simati atau harta peninggalan simati yang belum dibahagikan kepada yang berhak menurut Islam?
.
2. Kalau hadir ke kenduri walimatul urus (kenduri kahwin) orang kerap salam berisi (hadiah wang yang diberi semasa bersalam). Kalau tak ada duit nak dikepit dalam tangan, maka segan ia nak pergi makan kenduri. Tetapi kalau ia menziarah orang mati, tidak segan pula salam tak berisi. Sepatutnya kalau menziarah keluarga si matilah kita patut memberi sedekah. Kalau ke kenduri kahwin, tak bagi pun tak apa kerana tuan rumah panggil untuk diberi makan bukan untuk ia menambah pendapatan.
.
3. Ketika menghadiri majlis pemimpin negara kita berpakaian cantik, kemas dan segak tetapi bila mengadap Allah baik di rumah mahupun di masjid, pakaian lebih kurang saja bahkan ada yang tak berbaju!
.
4. Kalau menjadi tetamu di rumah orang dan dijamu, kita rasa segan nak makan sampai habis apa yang dihidangkan kerana rasa segan dan malu, sedangkan yang dituntut dibanyakkan makan dan dihabiskan apa yang dihidangkan supaya tuan rumah rasa gembira dan tidak membazir.
.
5. Kalau bersolat sunat di masjid amat rajin, tapi kalau di rumah, sangat malas. Sedangkan sebaik-baiknya solat sunat sebaiknya banyak dilakukan di rumah seperti yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW untuk mengelakkan rasa riak.
.
6. Bulan puasa adalah bulan mendidik nafsu termasuk nafsu makan yang berlebihan tetapi kebanyakan orang mengaku bahawa dalam carta perbelanjaan setiap rumah orang Islam akan kita dapati perbelanjaan di bulan puasa adalah yang tertinggi dalam setahun! Sepatutnya perbelanjaan di bulan puasalah yang terendah.
.
7. Kalau nak mengerjakan haji, kebanyakan orang akan membuat kenduri sebelum bertolak ke Mekah dan apabila balik dari Mekah tak buat kenduripun. Anjuran berkenduri dalam Islam antaranya ialah kerana selamat dari bermusafir, maka dibuat kenduri, bukan kerana nak bermusafir, maka dibuat kenduri. Bukankah amalan ini terbalik? Atau kita mempunyai tujuan lain?
.
8. Semua ibubapa amat bimbang kalau-kalau anak mereka gagal dalam peperiksaan. Maka dihantarlah ke kelas tuisyen walau pun banyak belanjanya. Tapi kalau anak tak boleh baca Quran atau solat, tak bimbang pula bahkan tak mahu hantar tuisyen baca Quran atau kelas khas mempelajari Islam. Kalau guru tuisyen sanggup dibayar sebulan RM20.00 satu pelajaran 8 kali hadir tapi kepada Tok Guru Quran nak bayar RM15.00 sebulan 20 kali hadir belajar pun menggeletar tangan. Bukankah terbalik amalan kita? Kita sepatutnya lebih berbimbang jika anak tidak dapat baca Al Quran atau bersolat dari tidak lulus peperiksaan.
.
9. Kalau bekerja mengejar rezeki tak kira siang malam, pagi petang, mesti pergi kerja. Hujan atau ribut tetap diharungi kerana hendak mematuhi peraturan kerja. Tapi ke rumah Allah (masjid) tak hujan, tak panas, tak ribut pun tetap tak datang ke masjid. Sungguh tak malu manusia begini, rezeki Allah SWT diminta tapi nak ke rumahNya segan dan malas.
.
10. Seorang isteri kalau nak keluar rumah sama ada dengan suami atau tidak, bukan main lagi berhias. Tetapi kalau duduk di rumah, tuhan sahaja yang tahu. Sedangkan yang dituntut seorang isteri itu berhias untuk suaminya, bukan berhias untuk orang lain. Perbuatan amalan yang terbalik ini membuatkan rumahtangga kurang bahagia.

HARI IBU - Sambutan Yang Dianjur Menurut Perspektif Islam

 1. Sambutan yang dilakukan sebaik-baiknya secara sederhana, tidak melalaikan tanggungjawab seorang Muslim terhadap Allah s.w.t. dan tidak bersifat membazir. 

2. Sambutan yang baik  adalah dengan cara mengasihi sesama sanak saudara melalui amalan ziarah-menziarahi selain berkongsi suka-duka, menzahirkan rasa syukur jika senang dan bertakziah  atau bersimpati apabila ditimpa sebarang musibah. 

3. Sebaik-baik sambutan adalah dengan mengadakan sembahyang berjamaah bersama ahli keluarga, majlis tahlil dan doa selamat, pesanan dan nasihat yang baik serta dalam suasana yang mahabbah. 

4. Setiap ibu bapa perlu merenung kembali dan muhasabah diri ke atas amanah serta tanggungjawab yang terpikul di bahu mereka. Adakah kita telah memainkan peranan sebagai pemimpin keluarga dengan penuh kasih sayang, melalui jalan kebenaran untuk menikmati kedamaian hidup di dunia dan kebahagiaan akhirat. 

5. Setiap ibu bapa perlu menyayangi dan melindungi ahli keluarga mereka daripada segala bentuk ancaman akidah dan kelalaian dunia. Ibu bapa perlu menjadi contoh terbaik di dalam keluarga dan disegani, dihormati serta disayangi oleh ahli keluarga. 

6. Setiap ibu bapa perlu mewujudkan persekitaran yang baik dan selesa agar ahli keluarga merasa selamat,  dihargai dan dihormati dalam usaha melahirkan insan syumul. 

7. Setiap ibu bapa perlu prihatin dan memainkan peranan bersama untuk membabitkan diri dalam membanteras gejala sosial dan maksiat yang berleluasa dalam masyarakat, melalui program amar makruf nahi mungkar bagi melindungi ahli keluarga daripada terjebak. 

8. Setiap ibu bapa perlu memperingatkan dirinya perihal pentingnya peranan mereka dalam menyemaikan nilai-nilai etika dan spiritual yang tinggi dalam kalangan ahli keluarga mereka. 

9. Setiap ibu bapa mestilah mengambil langkah-langkah proaktif bagi mempertingkatkan pengetahuan dan kemahiran keibubapaan (parenting skills) bagi menyediakan anak-anak mereka untuk lebih berupaya menghadapi cabaran masa kini. 


10. Didikan agama yang sempurna  adalah satu faktor perlindungan (protective factor) yang mampu menyelamatkan manusia dari terjebak ke dalam perbuatan keji yang hanya akan merosakkan dirinya sendiri. Apabila pegangan serta keutamaan tidak lagi berkisarkan kepada tunjang agama yang kukuh, dengan mudah sahaja seseorang itu melakukan sesuatu perbuatan yang merugikan diri, keluarga, masyarakat dan negaranya.
SEMOGA MEMBERI MANAFA'AT DAN DIBERI MANAFA'AT SERTA KEBERKATAN....